DPP LDII: Indonesia Harus Bisa Mandiri dan Swasembada Pangan
Jakarta (16/5). Wabah virus corona memicu permasalahan baru dalam bidang pemenuhan kebutuhan pangan. Muncul pertanyaan besar, sejauh mana ketahanan pangan dan kemandirian nasional terkait dengan pangan di masa pendemi ini?. Pasalnya, ketahanan pangan nasional saat ini, masih bergantung dengan manajemen impor pangan. Akibatnya, petani sebagai pejuang pangan di garda depan kerap terpukul ketika masa panen bersamaan dengan saat impor pangan.
“Dalam sejarah nenek moyang bangsa Indonesia, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan kerajaan-kerajaan lainnya, belum pernah Indonesia mengimpor. Justru kerajaan-kerajaan itu mengekspor beras ke mancanegara,” ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo.
Prasetyo mengingatkan, ketahanan pangan sangat strategis dalam geoekonomi dan geopolitik. Pangan bisa menjadi alat diplomasi di masa depan, selain air dan energi. Memulai ketahanan pangan, LDII telah berupaya dengan menyuburkan kembali tanah-tanah pertanian yang struktur tanahnya rusak oleh pupuk kimia, “Arief Iswanto anggota Dewan Pakar LDII telah menyuburkan lahan-lahan pertanian yang mengeras karena pupuk kimia dengan pupuk alam di daerah Sukabumi. Terbukti tanah kembali subur, dengan hasil 6 ton padi per hektar,” ujar Prasetyo Sunaryo.
Di area tersebut, Arief mengembangkan pembuatan pupuk alam, tanaman cokelat dan kopi. Produk- produk pertanian tersebut, sudah diminati kafe-kafe di Eropa.
Prasetyo Sunaryo mengingatkan, ketahanan pangan sangat bergantung dari pemerintah sebagai regulator dan petani di sisi lain, yang selalu kreatif dan inovatif untuk meningkatkan produksi pertanian. Persoalannya, terkadang sebagai regulator, pemerintah dalam beberapa kasus terlau birokratis, yang menyebabkan kreativitas dan inovasi petani menjadi mampat.
“Petani harusnya menjadi subjek, namun dalam beberapa hal saat mereka membuat bibit padi atau pupuk justru berurusan dengan birokrasi bahkan hukum. Mereka harus menghadapi kegenitan akademik,” imbuh Prasetyo. Menurutnya, bila temuan bibit atau pupuk, bahkan juga obat pada tanaman, bila dilakukan oleh individu atau sekelompok petani, tidak harus dihadapkan pada birokrasi dan hukum.
Bahkan bila perlu, menurutnya, pemerintah bisa memberi izin produk bibit dari petani. Dengan membantu riset dan hak intelektual. Dengan begitu, petani bisa menjadi subjek dan negara melakukan proteksi.
Protesi dari negara ini sangat penting. Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, hingga Cina, sangat memproteksi para petani mereka. Memberi subsidi yang besar, sehingga panen melimpah dan tentu saja, hasil panennya bisa bersaing untuk ekspor. Sementara, subsidi dan perlindungan pemerintah terhadap petani belum optimal. Di pedesaan masih marak praktik-praktik ijon, yang memiskinkan petani.
“Kuasai minyak, maka engkau akan menguasai bangsa- bangsa. Kuasai pangan, maka engkau akan menguasai rakyat,” kredo ini pernah dilontarkan Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri AS dan selanjutnya menjadi penasihat keamanan nasional di era Presiden Amerika Serikat Richard Nixon.
Dengan demikian penguasaan pangan merupakan hal yang penting dalam geopolitik. Prasetyo mengingatkan, ketahanan pangan justru tak tercipta ketika pemerintah menekan kreativitas, atau lebih mementingkan tanaman tertentu, “Kita bisa berpaling ke sejarah, titik mula kekurangan pangan di Pulau Jawa, ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa, yang menyebabkan sawah- sawah berubah menjadi tanaman tebu, hanya untuk mengisi kekosongan kas akibat Perang Jawa,” imbuh Prasetyo Sunaryo.
DPP LDII berharap, ketahanan pangan ini menjadi fokus perhatian pemerintah. Indonesia harus bisa mandiri dan swasembada pangan, jangan sampai hanya mahir memanajemen impor pangan.